Senin, 13 April 2020

Bab 4 Sejarah Indonesia

BAB 4

PERADABAN ISLAM DI INDONESIA

Masa Peradaban Islam di Indonesia


I. Mukadimah
Siapapun di zaman Rasulullah mungkin tidak ada yang mengira, bahwa Indonesia menjadi negara terbesar jumlah penduduk Muslimnya di dunia ini. Fenomena yang luar biasa ini, menarik berbagai kalangan dari sejarahwan modern untuk menguak lebih dalam, bagaimana Islam bisa masuk di Indonesia, dan apa saja peradaban yang telah dibangun olehnya, serta siapa saja orang-orang yang berperan membangunnya. Makalah kali ini tidak akan membicarakan secara detail perkembangan dan kemajuan peradaban Indonesia, namun hanya akan menitik beratkan pada bagaimana peradaban ini mulai masuk dan mulai dibangun.

II. Masuknya Islam di Indonesia
Sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di negara ini, perkembangan agama Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase. (1) Singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Sumbernya adalah berita luar negeri, terutama Cina. (2) Adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia. Sumbernya, di samping berita-berita asing, juga makam-makam Islam. (3) Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.[1].
Tentang masuknya Islam di Indonesia semula diduga bahwa yang membawa dan memperkenalkan Islam di kawasan ini ialah pedagang-pedagang dari Gujarat, India. Sejak saat itu, perdagangan dipandang sebagai saluran utama bagi pesatnya perkembangan Islam di kepulauan Nusantara. Tetapi, penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa faktornya sangat kompleks. Sebelum berkembang pesat, Islam harus menempuh jalan yang berliku-liku dan rumit serta panjang, dan faktornya bukan hanya perdagangan semata-mata.
Bukti-bukti yang lebih absah seperti berita-berita Arab, Persia, Turki, dan teks-teks sejarah lokal memperkuat keterangan bahwa Islam hadir di kepulauan Nusantara dibawa langsung dari negeri asalnya oleh pedagang-pedagang Arab, Persia, dan Turki. Gujarat dan bandar-bandar lain di India seperti Malabar dan Koromandel hanyalah tempat persinggahan saja sebelum mereka melanjutkan pelayaran ke Asia Tenggara dan Timur Jauh. Pada abad ke-12 dan 13 M, disebabkan banyaknya kekacauan dan peperangan di Timur Tengah termasuk Perang Salib, mendorong penduduk Timur Tengah semakin ramai melakukan kegiatan pelayaran ke Asia Tenggara.[2]
Faktor yang turut menentukan bagi bertambah ramainya kegiatan perdagangan bangsa Arab dan Persia di Asia Tenggara ialah invasi beruntun bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jengis Khan atas negeri-negeri Islam sejak tahun 1220 M yang berakhir dengan jatuhnya kekhalifahan Baghdad pada tahun 1258 M. Peristiwa ini mendorong terjadinya gelombang perpindahan besar-besaran kaum Muslimin ke India dan ke Asia Tenggara. Kepulauan Melayu merupakan gerbang masuk terdepan bagi pelayaran ke timur.
Faktor lain bagi pesatnya perkembangan Islam ialah mundurnya perkembangan agama Hindu dan Budha, mengikuti surutnya kerajaan Hindu dan Buddha yang diikuti oleh mundurnya peranan politiknya. Abad ke-13 M, ketika agama Islam mulai berkembang pesat di kepulauan Melayu, sebagai contoh, ditandai dengan mundurnya Kerajaan Sriwijaya atau Swarnabhumi. Pusat imperium Buddhis di Nusantara ini mulai mengalami kemunduran disebabkan rongrongan dua kerajaan Hindu Jawa–Kediri dan Singasari–disusul dengan krisis ekonomi yang membelitnya. Seabad berikutnya negeri ini dua kali diserbu Majapahit, sebuah imperium Hindu yang mulai bangkit di Jawa Timur. Serbuan terakhir pada penghujung abad ke-14 M menyebabkan negeri itu hancur dan tamat riwayatnya.[3]

III. Tiga Lingkaran Pusat Peradaban
Faktor yang menyebabkan Islam berkembang pesat ialah penempatan pusat-pusat lingkaran peradaban di tiga titik yang tepat, yaitu istana, pesantren, dan pasar.[4] Istana sebagai pusat kekuasaan berperan di bidang politik dan penataan kehidupan sosial. Di sini dengan dukungan ulama yang terlibat langsung dalam birokrasi pemerintahan, hukum Islam dirumuskan dan diterapkan. Di sini pula kitab sejarah ditulis sebagai landasan legitimasi bagi penguasa Muslim. Pesantren berperan di bidang pendidikan, dan merupakan pusat kebudayaan kedua setelah istana. Di sini jaringan-jaringan pengajian agama di lingkungan masyarakat luas dibangun, di kota ataupun di pedesaan, begitu pula tema-tema pengajian. Di sini pula kitab-kitab keagamaan ditulis dan disalin untuk disebarkan.
Peran pesantren, atau dayah dan meunasah di Aceh, surau di Minangkabau, semakin menonjol pada abad ke-18 M di seluruh pelosok Nusantara. Lembaga yang semula bersifat kedaerahan ini berkembang menjadi lembaga supra-daerah yang kepemimpinan dan peserta didiknya tidak lagi berdasarkan kesukuan. Ia tumbuh menjadi lembaga universal yang menerima guru dan murid tanpa memandang latar belakang suku dan daerah asal. Pada masa itulah, pesantren atau dayah mampu membentuk jaringan kepemimpinan intelektual dan penyebaran agama dalam berbagai tingkatan dan antardaerah.[5]
Sedangkan pasar berperan di bidang ekonomi dan perdagangan. Pasar merupakan daerah pemukiman para saudagar, kaum terpelajar, dan kelas menengah lain, termasuk para perajin, yang berhadapan langsung dengan situasi kultural yang sedang berkembang. Di sini orang dari berbagai etnik dan ras yang berbeda-beda bertemu dan berinteraksi, serta bertukar pikiran tentang masalah perdagangan, politik, sosial, dan keagamaan. Di sini pula perkembangan bahasa Melayu mengalami dinamika yang menentukan bagi luasnya penyebarannya ke berbagai wilayah Nusantara lain. Di tengah komunitas yang majemuk ini tentu saja terdapat masjid yang merupakan tempat mereka berkumpul dan menghadiri pengajian-pengajian keagamaan. Di sini pula madrasah-madrasah didirikan, dan buku-buku keagamaan didatangkan dari negeri Arab dan Persia, dikirim ke pesantren untuk disalin, disadur, atau diterjemahkan agar dapat disebarluaskan. Di sini pula dirancang strategi penyebaran agama mengikuti jaringan-jaringan emporium yang telah mereka bina sejak lama. Tentu saja, tiga titik pusat lingkaran peradaban ini saling mendukung satu dengan yang lain, dan saling berinteraksi. Ini tercermin dalam tatanan kota yang dibangun pada zaman kejayaan imperium dan emporium Islam.
Kota-kota Islam di Nusantara dibangun mengikuti model kota di negeri Arab dan Persia. Ia berbeda dengan kota-kota pada zaman Hindu dan kota-kota lama di Eropa. Kota-kota lama di Eropa dibangun dengan menempatkan istana sebagai bagian yang terpisah dari keseluruhan tatanan kehidupan kota. Kota-kota Islam menempatkan istana sebagai bagian integral dari kehidupan kota. Dengan begitu, istana tidak terasing dan dapat berinteraksi secara dinamis dengan pusat-pusat peradaban di luarnya seperti lembaga pendidikan dan pasar. Model kota seperti itu memungkinkan istana mempengaruhi kebudayaan kota dengan kuat lewat kehidupan di pesantren dan pusat pemukiman para saudagar, perajin, dan cendekiawan yang disebut pasar atau bazar.[6]
Penataan kota seperti itu dan penempatan tiga titik lingkaran pusat peradaban, semakin efektif berfungsi ketika proses Islamisasi memasuki tahapan kedua. Yaitu ketika implikasi rasional dan filosofis dari konsep tauhid mulai disertakan dalam menyampaikan ajaran Islam. Dan, Islam tidak cukup diterima secara formal atau berdasarkan aspek legallistik formal. Jika itu yang ditekankan, maka Islam tidak akan berakar sedemikian mendalam di dalam jiwa, pikiran, dan pandangan hidup penduduk Nusantara.

IV. Saluran dan Cara-cara Islamisasi di Indonesia
Lebih rinci lagi, dari tiga lingkaran peradaban yang menjadi saluran berkembangnya Islam di Indonesia adalah apa yang dijelaskan oleh Uka Tjandrasasmita. Menurut dia ada enam saluran,[7] yang penulis ringkaskan keterangannya sebagai berikut:
Saluran Perdagangan
Pada taraf permulaan kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke 7 hingga ke 16 membuat pedagang-pedagang muslim turut ambil bagian dalam mengislamisasi bangsa Indonesia, apalagi yang terlibat dalam perdagangan seperti ini adalah para raja, hingga Islam sangat cepat berkembang.
Saluran Perkawinan
Saat itu orang Muslim dikenal sebagai saudagar yang kaya, maka tak heran banyak warga pribumi khususnya para wanita yang tertarik untuk menjadi istri mereka. Dan tentu sebelum nikah, mereka diislamkan dulu, hingga kemudian Islam semakin meluas lewat keturunan mereka.
Saluran Tasawuf
Tokoh-tokoh ahli tasawuf adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Mereka mengajarkan Islam dengan dicampur ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia saat itu yaitu agama Hindu.
Saluran Pendidikan
Contohnya adalah pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam.
Saluran Kesenian
Saluran Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukkan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukkan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat.
Saluran Politik
Di Maluku dan Sulawesi selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini.[8]

V. Bukti Peradaban Islam di Barus[9]
Berdasarkan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, kota Barus dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.
Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerja sama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.
Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur. Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasihat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai.
Sejarawan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M. Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara[10].
Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M.[11]

VI. Ternyata Islam masuk Nusantara ketika Rasulullah masih hidup
Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasulullah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab. Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatra (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatra sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.
Kemudian disebutkan bahwa, perjalanan dari Sumatra sampai ke Mekkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun. Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. a..
Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.
Sedangkan Nusantara menjadi Islam keseluruhan pada abad 17, karena pada saat itu semua pemimpin dan tokoh masyarakat di kepulauan Nusantara sudah memeluk Islam. Dari catatan sejarah, pemimpin masyarakat yang paling akhir memeluk Islam adalah Gowa Tallo. Ini terjadi pada tahun 1605 bertepatan dengan abad 17. Pada saat itu, VOC memang sudah masuk ke sebagian wilayah Nusantara tapi belum bisa mencengkeramkan pengaruh dan kekuasaannya. VOC pertama kali datang ke Nusantara pada tahun 1596 dengan mendarat di Banten.

VIII. Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Sumatra
Samudera Pasai
Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke 13 M. sebagai dalil dari proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7, ke-8, dan seterusnya.[12] Bukti berdirinya kerajaan ini adalah nisan kubur, yang diketahui bahwa raja pertamanya meninggal bulan Ramadhan tahun 696 H, atau sekitar tahun 1297 M. Malik al-Saleh adalah raja pertama sekaligus pendirinya. Kerajaan ini berlangsung tahun 1524 M.
Aceh Darussalam
Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam.[13] Kerajaan ini berlangsung hingga masuk abad-18 M.
Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
Demak
Saat posisi Raja Majapahit melemah, penguasa-penguasa Islam di pesisir ingin membentuk pusat kekuasaan yang independen. Maka di bawah Sunan Ampel Denta, Wali Songo bersepakat mengangkat Raden Patah menjadi raja pertama kerajaan Demak dengan gelar Senopati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama.[14] Pemerintahan dia berlangsung kira-kira di akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Dan pemerintahan Demak berakhir dengan dibunuhnya Prawoto oleh Aria Penangsang dari Jipang (Bojonegoro) pada tahun 1549.
Pajang
Kerajaan Pajang terletak di daerah Kartasura sekarang, dan ia dipandang sebagai pewaris kerajaan Islam Demak. Diperintah oleh Jaka Tingkir setelah ia berhasil membunuh Aria Penangsang. Kekuasan dan kebesarannya tidak lama dan kemudian diambil alih oleh kerajaan Mataram. Jaka Tingkir adalah penguasa Pajang pertama, ia berasal dari Pengging, lereng Gunung Merapi, sekaligus menantu dari Sultan Trenggono, raja Demak ketiga. Riwayat Pajang berakhir tahun 1618 yang dihancurkan oleh Mataram, atas ulah pemberontakan mereka.
Mataram
Awal dari kerajaan Islam Mataram adalah ketika Sultan Adiwijaya dari Pajang meminta bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari daerah pedalaman untuk menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria Penangsang tersebut di atas. Sebagai hadiah atasnya, Sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Pamanahan yang menurunkan raja-raja Mataram Islam kemudian. Senapati anaknyalah yang menjadi Sultan Mataram yang pertama. Runtuhnya Keraton Mataram adalah karena pemberontakan para ulama pada tahun 1677 M dan 1678 M yang dipimpin oleh Raden Kajoran. Pemberontakan ini sebagai wujud keprihatinan atas maraknya pembunuhan terhadap para ulama dan santri oleh Amangkurat I. Disebutkan 5000-6000 ulama beserta keluarganya dibunuh tanpa dosa.[15]
Cirebon
Didirikan oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Menjadi kerajaan Islam pertama di Jawa Barat.
Banten
Disebutkan, penguasa Pajajaran di Banten menerima Sunan Gunung Jati dengan ramah tamah dan tertarik masuk Islam. Langkah Sunan Gunung Jati setelah Banten masuk Islam, adalah menduduki pelabuhan Sunda, tahun 1552, kemudian pelabuhan-pelabuhan Jawa Barat lainnya. Setelah kembali ke Cirebon, kekuasaannya atas Banten diserahkan kepada putranya, Hasanuddin.
Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi
Kerajaan-kerajaan Islam juga mulai tumbuh di luar Jawa seperti di Kalimantan, kerajaan-kerajaan itu adalah:
Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan
Kutai di Kalimantan Timur
Kemudian berakhir pada kerajaan terakhir yaitu yang berada di Maluku, dan Sulawesi (Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu).

IX. Penutup
Demikian secara singkat pemaparan peradaban Islam di Indonesia, yang tentu tidak menutup kita untuk hanya mengetahuinya dari tulisan yang sangat singkat ini. Banyak hal lain yang juga sangat penting untuk dimengerti, supaya kita bisa berbangga atas perjuangan pendahulu kita yang melewati onak duri dan jalan yang berliku namun berakhir dengan kejayaan. Semoga Allah memberikan balasan yang terbaik kepada pendahulu kita yang berjuang menyampaikan risalah Islam kepada manusia. Dan pada akhirnya mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan dari penulisan ini. Wallahu A’lam bish Shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar